rano al-mady ISLAM ITU INDAH DAN MUDAH TAPI BUKAN UNTUK DI MUDAH2 KAN( TENTANG TAHLIL KEMATIAN)


أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِِْ




Gambar Kaligarafi Bismillah

Gambar Kaligrafi Assalamualaikum
segala puji dan syukur kita kita panjatkan kehadirot allah swt, sholawat dan salam kepada nabi besar muhammad saw amiin.................................


BOLEH TAPI BUKAN KEWAJIBAN
DALAM HAL-HAL  KEMATIAN TERMASUK BID’AH MAKMUDAH
TERPUJI,BOLEH]

{1.} didalam kitab SHIFATIN SHOLATIN NABI ASY SYAIKH AL
ALBANI
  imam empat
sepakat  jangan fanatik pada Pendapat kami, tinggalkan lah
pendapat kami jika bertentangan dg alqur'an dan hadist

  dan juga jika ada
pendafat ulama lain yg lebih shahih.


{2} tentang hadis yg melarang

  "dari jarir bin
abdullah al bajaliy ia berkata ""KAMI{PARA SAHABAT SEMUANYA}         Memandang/menganggap yakni menurut
mazhab bahwa berkumpul-kumpul,

ditempat  ahli mayit dan
  membuat makanan
sesudah ditanamnya mayyit termasuk dari bagian meratap[ ibnu majah]


[3] adat dikalangan yg masih melakukan adat tahlilan
kematian keluarga mayit akan sedih jika kita tidak datang berkumpul kerumah
mayit bahkan mereka bertanya

  tanya kenapa sianu
tak mau datang kerumah kami


[4]  IBNU MAS'UD R.A,
BERKATA; rosul saw bersabda

  siapa menghibur org
yg ditimpa musibah { BALA'KEMATIAN DSB] maka ia mendapatkan selendang di hari
kiamat H.R ATTIRMIDZI


  AMR BIN HAZM
R.A,BERKATA NABI SAW;

tiada seorang mukmin yg menghibur saudara yg di Timpa
musibah, melainkan akan diberi oleh allah perhiasan kehormatan di hari kiamat {
H.R IBNU MAJAH ALBAIHAQI}


[5 ] ketika ja'far bin abi thalib wafat

  maka buatlah makanan
untuk keluarga ja'far karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yg
menyibukan mereka yaitu kematian,


  [H.R.riwayat abu
dawud, atirmidzi dan ibnu majah]

  berkata imam syafie
aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familynya membuat makanan untuk
ahli mayit pada hari kematian dan malam harinya

  yg sekiranya dapat
menyenangkan meraka karena yg sesungguh nya yg demikian  adalah mengikuti sunah[ AL-UM 317 KARANGAN
IMAM SYAFIE


  imam ahmad bin hambal
berkata dal kitab AL-ZUHD

  DARI SUFYAN BERKATA
sesunggunya orang yg mati akan di uji didalam kuburnya selama 7 hari KARENA
KAUM SALAF MENGANJURKAN

  SEDEKAH MAKANAN DAN
BERKIRIM DOA/BERDOA SELAMA HARI-HARI TERSEBUT ITU LAH YG DILAKUKAN IMAM
'ATHA'BACA KITAB

  AL-ZUHD,AL-HAFIZH ABU
NU'IM ,,DALAM HILYAH AL-AULIYA'AL HAFIZH IBNU RAJAB,,, DAN DALAM KITAB  AL-MATHALIB AL-ALIYAH,,DAN AL HAFIZH
AL-SUYUTHI

  DALAM AL-HAWI LIL-FATAWI

  [ 1 ]  JAWABAN NO.1 DARI MURID IMAM HAMBALI KETIKA
BERTANYA KEPADA GURUNYA TENTANG PENDAPAT 4 IMAM MAZHAB JIKA ADA HAL2 KEMUDIAN HARI ULAMA LAIN FATWA NYA
SHAHIH WALAUPUN

TIDAK ADA DI PENDAPAT IMAM 4 ATAU QUR'AN HADIST JIKA DI
SEPAKAT BOLEH DI IKUTI KARNA  TIDAK SEMUA
HAL2 YG TIDAK ADA DIZAMAN NABI SEMATA HARAM ATAU BID'AH

  SEPERTI AMAL2AN YG
DIBUAT2 SAHBAT NABI TIDAK MELARANG WALAUPUN IA TAK MELAKUKAN.


  [ 2 ] JAWABAN NO.2
KUNA NA'UDDU,/KUNA NARO ,MENGANGGAP/MEMANDANG BUKAN BEARTI PASTI HARUS WAJIB


{3 ]  jawaban no.3
tahlilah tidak ada larangan dalam bertahlil dan juga amalan yg di lakukan org2    dalam berkumpul,

bukan amalan dukun2 tapi bacaan zikir sholawat doa dll sbg
walupun tidak ada dalilnya misalnya,
mereka membuat amal-AMALAN bersipat dari hal yg bernuasa ibadah DALAM
KUMPUL2 TADI,

  bahkan yg
membuat ahli mayit bersedih susah hati meratpi, jika kita tidak datang kerumah
mereka yg berhajat acara berdoa hitungan hari tadi jadi jika


        mereka
bersedih  karna kita malah berdosa kenapa
mereka tak datang benci padaku kah salahkah aku,dalam hatinya,


        bukankah nomor
empat menyuruh menghibur dg cara  yg
telah ditadisi seperti hitungan hari bertahlil berdoa untuk mAyit

 
[ 4 ] jawaban no.4
buakakh kita disuruh menghibur, bagaimana kita menghibur dg mendatang membawa
makanan mmeringan beban mereka menasehati mereka


  berdoa bersama mereka
ajak makan bersama mereka supaya mereka lalai dari kesedihan, sebagaimana
seperti yg biasa mereka lakukan asal jgn membebani mereka,


malah kita harus membantu dg cara-cara yg sesuai


terkecuali ahli mayyit menolak hal2 tadi kita memaksa seakan
akan harus dikerja maka haram kalau ahli mayyit meminta atau masih menjalankan
tradisi maka boleh


ASAL  JANGAN  MENYIBUKAN  MEREKA DAN BERTUJUAN LAH MENGHIBURKAN MEREKA


melalaikan mereka dari kesedihan duka cita


 [5 . JAWABAN NO 5
MAKA BOLEH KATA2 ANGGAP TADI ANGGAPALAH SILATURHMI KEPADA KELUARGA  KEMATIAN, DAN MENGHIBUR LEBIH ABDOL BAWA
MAKAN MASAKIN AJAK MAKAN


  JANGAN BEBANI AJAK
MAKAN AJAK BERDOA  BEZIKIR  JIKA DIA TERHIBUR MAKA MASUK MENJADI SUNAH
SEPERTI HADIS NO.4 JIKA TIDAK TERBEBANI,MEMBENI AHLI MAYIT


  DAN  JIKA KELUARAGA MAYAT TIDAK MENGHENDAK MAKA
TIDAK BOLEH


KESIMPULAN


  KALU MAU MELAKUKAN
BOLEH TAK MELAKUKANPUN TAK APA2 TAPI JAGN VONIS HARAM DOSA BID'AH SANA SINI
KELUARIN FATWA SENAKNYA SEMUA PUNYA DALIL TAK DI QUR'AN DI HADIST TAK  DI HADIST, SAHABAT, TAK SAHABT TABI'IN,ADA
IJMA' ADA QIYAS ADA TAFSIR 


  SEPAKAT DARI MASA KEMASA OLEH ULAMA'


BERGURU DG BERKITAB,BERKITAB DG BERGURU,

AL QUR'AN-HADITS,IJMA'QIAS, TAFSIR,
kesimpulan KALU MAU MELAKUKAN BOLEH TAK MELAKUKANPUN TAK APA2 TAPI JAGN VONIS HARAM DOSA BID'AH SANA SINI KELUARIN FATWA SENAKNYA SEMUA PUNYA DALIL TAK DI QUR'AN DI HADIST TAK HADIST SAHABAT, TAK SAHABT TABI'IN,ADA IJMA' ADA QIYAS ADA TAFSIR SEPAKAT DARI MASA KEMASA OLEH ULAMA' JIKA MAU MELAKUKAN BOLEH TIDAK MAU BOLEH,KARENA ADA ULAMA SALAF YG MELAKUKANNYA

ranoalmady: https://wwwranoislam.blogspot.co.id/ 



     RANO AL-MADY AL-KUNDI



HUKUM TAHLILAN MENURUT SUNNAH
Sunnah Nabi Saw itu ada tiga: 1. Sunnah Fi`liyah (perbuatan, yang dilakukan, dicontohkan), 2. Sunnah Qouliyah (perkataan, disabdakan, anjuran, perintah), dan 3. Sunnah Taqririyah (disetujui, tidak dilarang).

 Dilihat dari kaidah pembagian sunnah yang tiga tadi, tahlilan bisa dikatakan masuk dalam “sunnah qouliyah” dari segi kalimah-kalimah dzikir yang dibacanya dan atau tujuan yang mendasarinya. Dari segi “tradisi” juga bisa masuk dalam “sunnah taqririyah” karena atsar sahabat dalam periwayatannya




MARI KITA BAHAS LAGI SELANJUT SUPAYA LEBIH FAHAM DAN JELAS
 Bagaimana hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam? Pertanyaan seperti ini sering muncul di kalangan muda Islam. Suatu kebanggan memang jika generasi muda Islam semakin kritis dan haus akan keilmuan. Namun, tidak sedikit diantara mereka yang menggali hukum Islam hanya bermodal membaca buku dan terjemahan, sehingga kandungan ayat-ayat suci dan hadits Rasul hanya difahami sebagian saja, tidak mendalam dan akhirnya melahirkan pemahaman yang salah.



Itulah sebabnya Allah memilih diantara hamba-hambanya menjadi ulama yang faham akan Al-Quran beserta sunnah agar menjadi tempat bertanya ummat tentang berbagai hal dalam Agama ini. Nah, untuk Anda yang bertanya bagaimana hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam, berikut paparan para ulama berdasarkan Al-Quran dan Hadits.



عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم



“Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004).



Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :

وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء



“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma

(sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)



Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu – tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah. Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka atau saat tahlilan?



Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu.



Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.



Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafa­h), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.


Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة

“Mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).



Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram.



Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.



Dalam istilah – istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dan hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yang dangkal dalam pemahaman syariahnya.



Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah­”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah­” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah jika ada yang wafat.


Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang – orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul wahhab) menafsirkan kalimat “makruh” adalah hal yang dibenci, tentu mereka salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah, bukan bicara dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa dan secara syariah, maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang dibenci, namun dalam syariah adalah hal yang jika dilakukan tidak dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.


Namun mereka ini tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa, mana buku yang membahas hukum syariah. Baca selengkapnya tentang bid’ah di tautan ini!



Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam – macam, hal ini makruh, (bukan haram).


Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu – tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.



Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yang memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan.



Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengutsambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uangatau hadiah untuk membantu mereka.



Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa – apa ..?, datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.



Bahkan Rasul saw memerintahkan diadakan makanan dirumah duka, sebagaimana hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya Jakfar bin Abi Thalib :

“Buatkan makanan untuk keluarga (alm) Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal – hal yang menyibukkan mereka” (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru menunjukkan bahwa Rasul saw memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka. Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.



Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini dalil bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan, namun mereka lupa bahwa hadits ini justru perintah Rasul saw agar disiapkan makanan dirumah duka, karena beliau saw bukan mengatakan tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan perintahnya jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian

(bukan untuk satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka”. Apa? para tamu.



Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).



Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.



Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.



Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi 5 bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165).



Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram).



Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.



Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yang makruh), karena Bid’ah tercela itu tidak semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan – hiasan warna – warni membentuk pemandangan atau istana – istana dan burung – burung misalnya, ini adalah bid’ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun bid’ah buruk yang makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.



Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.



Berkata Shohibul Mughniy :

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا ل إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية



Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)



Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه



“Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).



(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah bahkan hal yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu)



Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.



Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :



Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang – orang” (Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)



Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya Kuat).



Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yang membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372)



Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :

فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس !، إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا



Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra :



Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan. (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)

hukum tahlilan menurut islam
hukum kenduri arwah menurut islam

Kini saya ulas dengan kesimpulan :

Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan yang dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.


Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits No.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,


Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.


Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan, dengan landasan sabda Rasul saw : “Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, sungguh mereka sedang dirundung kesedihan”


Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang telah saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk menjamu tamunya jika ia wafat.


Boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau catering untuk menyambut tamu – tamu, karena pelarangan akan hal itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.


Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka tapi kalau di niatkan sedekah menjadi sunnah


Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah,­ (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih 1.000 ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.



Itulah hukum tahlilan, yasinan dan kenduri menurut Islam yang dipaparkan para ulama. Jangan sampai kita terlalu banyak menyalahkan orang yang berbeda pemahaman, setidaknya fahami jalan fikiran mereka agar semakin menghargai perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah.
Tulisan ini dikutip dari buku Kenalilah Akidahmu Jilid 2 karya Habib Munzir Al-Musawwa.


'''INI KUTIPAN DARI GURU KITA ABDUL SOMAD LC.MA

 Hukum Tahlilan 7, 40, 100 Hari dan Dalilnya | Ustadz Abdul Somad Lc, MA

WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100, dan ke 1000. Kalau tidak anda akan masuk neraka.”

SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000?”

WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula.”

SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”

WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”

SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”

WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut, orang-orang Hindu melakukan kesyirikan.”

SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ. (رواه الطبراني في الكبير والأوسط، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير).
“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]).

Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.

WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.”

SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”

WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama?”

SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”

SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ. (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai penghormatan kepada si mati.

WAHABI: “Owh, iya ya.”

SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”

WAHABI: “Ya, baca Kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”

WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas, sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”

SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf, dan gengsi belajar agama kepada para Kiai Pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”


WAHABI:''OH YA TERIMA KASIH ILMU NYA 



SEMOGA ISLAM MAKIN BERJAYA

 Benar datang nya dari allah swt ‘dan salah  datangnya dari saya sendiri,
                                                                                                 
Rano AL-madY AL-Kundi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR TANPA GURU' GURUNYA SYAITHAN

ANAK MENINGGAL SEBELUM BALIGH DAN KE IKHLASAN ORG TUA NYA

''HARAM KAH PERMAIN GAPLE,REMI CATUR DAN SEJENIS MEREKA''